Cari Artikel

Jumat, 18 November 2016

Untukmu dan Dianya Kamu, Semoga Bahagia

Saat ini kusendiri
Lalui malam tanpamu disini
Kembali aku sadari
Cintamu telah lama pergi

Namun takkan kusesali
Walau tlah banyak yang kita lewati
Biarlah semua terjadi
Lupakan semua cerita yang lalu


Nikmati indah hari ini
Bersama sahabat kita berbagi
Tiada lagi resah yang kurasa
Damai yang ada di hati


Lepaskan semua beban yang dulu pernah ada
Hentikan langkahku
Walau kulakukan semua tanpa dirimu
Kini damai yang kurasa
Richard N D'Gilis - Santai Saja

Tidak seperti beberapa tahun sebelumnya. Kali ini aku merasa lebih tenang, lebih damai dan ahhhhh... lega. Air mata ini pun bukan air mata kesedihan, tapi ada ketulusan disana. Aku bahagia melihatnya bersama orang lain. Tidak ada lagi dendam, tidak ada lagi kemarahan.
"Kamu terlalu baik. Aku nggak mau nyakitin kamu."
Awalnya aku memang tidak terima. Karena aku merasa tidak pernah melakukan kesalahan sedikit pun. Aku tidak pernah mengekang, aku selalu membebaskan dan membiarkannya menentukan pilihannya sendiri. Kenapa? Karena aku pun ingin diperlakukan seperti itu. Aku yang berjiwa bebas dan tidak suka terikat sudah jelas menginginkan hal itu. Tapi apalah dayaku. Takdir berkata lain, aku harus menerima kenyataan bahwa kami sudah tidak lagi bisa bersama. Aku harus merelakannya, jauh dari keikhlasan.

Tapi setelah tiga tahun berlalu, aku pun perlahan mulai mengerti. Mungkin aku memang "orang baik", yang tidak pantas mendapatkannya.
"Orang baik akan mendapatkan orang yang baik pula.
Tetaplah menjadi baik, maka kau akan mendapatkan orang baik. Tapi jika tidak, maka dia lah yang akan menemukanmu."
Aku suka kata-kata ini, entah dimana aku pernah membacanya.

Jadi secara tidak langsung, si doi ingin menyampaikan bahwa dirinya itu bukanlah orang yang baik, bukan orang yang pantas untuk menerima kebaikanku, mungkin. Aku bukan makhluk yang sempurna. Memang, selama aku menjalin hubungan dengannya, aku tidak pernah menunjukan kemarahanku. Sama sekali. Hingga suatu hari dia pun akhirnya bertanya langsung kepadaku.
"Kenapa sih, kamu nggak pernah marah?"
Aku pun tidak tahu. Mungkin aku terlalu takut kehilangannya, sehingga aku sebisa mungkin tidak melakukan kesalahan sedikit pun. Memaklumi semua kesalahan yang diperbuatnya. Sifat-sifatnya yang terkadang kekanakan. Tapi ternyata hal itulah yang dikhawatirkannya.

Dan aku pun kehilangan kepercayaan diriku. Aku selalu merasa kurang. Aku menyadarinya, aku tidak cantik, tidak juga menarik. Tapi si doi yang selalu menuntutku untuk berpenampilan "menarik". Selalu memintaku untuk menjadi wanita pada umumnya yang sangat bertolak belakang dengan keadaanku sebenarnya. Hey, aku mandi dua kali sehari! Setidaknya saat itu.

Kehilangannya, membuatku sangat-sangat terpuruk. Selama ini, hanya dia lah seseorang yang aku harapkan itu, walaupun pada akhirnya dicampakkan juga. Selama tiga tahun ini mataku seolah dibutakan. Walaupun tidak lama setelah itu aku berhasil mendapatkan yang baru. Tapi tetap saja sosok yang aku dambakan itu terus membayangiku dan membuatku selalu membandingkan orang-orang yang baru dengan sosoknya itu. Akibatnya? Hubunganku selalu kandas. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk menutup diri. Ketakutanku akan kekecewaan membuatku seperti itu.

Memang, hubunganku dengan si doi tidak terlalu lama, hanya enam hari. IYA! ENAM HARI! Dengan masa pendekatan selama kurang lebih enam bulan. Aneh tapi nyata. Perasaan nyaman macam apa yang aku dapatkan darinya? Entah.

Tapi kini, aku merasa sudah lebih baik. Walaupun terkadang aku masih sulit untuk mengontrol emosiku sendiri. Aku sudah lebih tegar sekarang. Melihatnya bersanding dengan wanita itu, dengan kebahagian terpancar dari wajahnya, aku merasa bebanku telah hilang setengahnya. Apakah ini yang dinamakan ketulusan?
"Bahagia itu ketika kamu melihat orang yang paling kamu cintai itu bahagia, walaupun kebahagiaannya itu bukan karenamu."
Percayalah, jika kamu introspeksi diri, perlahan kamu pasti akan memahaminya. Semua masalah itu terkadang datang dari pemikiran kita sendiri. Persepsi kita sendiri. Tapi kita cenderung selalu menyalahkan orang lain atas semua yang terjadi. Kita cenderung terlalu gengsi untuk mengakui kesalahan kita sendiri.

Dan kini, dengan langkah pasti, aku berjalan kembali, menuju langkah selanjutnya dimana hati yang lain sedang menungguku untuk membalas perasaannya. Mungkin. Entah. Tidak ada yang tahu.
"Untukmu dan dianya kamu, semoga bahagia."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar