Cari Artikel

Minggu, 06 November 2016

Antara Hidup dan Mati

Hidup untuk mati. Semua yang pernah hidup pasti akan mati juga. Entah dengan cara apa dan sudah pasti tidak dapat dihindari. Tapi bagaimana untuk orang-orang yang berhasil tidak mati? Bahkan berkali-kali?
Memang, dulu aku sempat berpikir untuk mati. Dulu sekali. Ketika aku berumur enam tahun. Terlalu muda? Iya. Anak sekecil itu bisa berpikir demikian?

Entah, pengalaman apa yang membuatku sempat berpikir demikian. Gantung diri dan menggores urat nadi itu seolah menggiurkan. Belum lagi mimpi-mimpi itu, mimpi tentang kematian, entah itu orang lain maupun diriku sendiri.

“Kak, tadi ada yang nyariin.”
“Siapa?”
“Nggak tahu, katanya sih temennya kakak, bawa sepeda semua trus bajunya item-item.”


Entah mereka siapa.

Ketika aku bercerita tentang hal ini kepada salah satu temanku, dia mengatakan bahwa itu pertanda bahwa aku panjang umur. Belum lagi ketika aku bercerita bahwa aku bermimpi tentang kematianku sendiri, seseorang mengatakan hal yang sama, mereka berkata bahwa hidupku itu berjalan masih lama. Mungkinkah?

Tapi bukan berarti aku percaya begitu saja. Aku masih takut akan kematian.

Dua puluh tahun usiaku. Masih terbilang muda. Bukan remaja, tapi juga belum cukup untuk disebut orang dewasa. Aku beruntung masih bisa menjalani hidup. Walaupun tak bisa terlepas dari problematika kehidupan dan itu sudah pasti. Kembali lagi ke ingatan masa kecilku dulu. Aku masih mencoba mengingat-ngingat apa yang sebenarnya terjadi waktu itu? Kenapa aku ingin sekali mati? Padahal masalah hidup yang sebenarnya justru baru datang akhir-akhir ini. Begitu rumit, begitu menyayat dan berhasil melemparkanku kembali ke dalam keterpurukan, sekali lagi. Tapi anehnya, aku masih kuat dan tetap bernapas.
“Aku melihat sesuatu yang mengapung di antara rangkaian kapal nelayan. Entah, potongan batok kelapa itu terlihat begitu menarik untukku. Kelas empat sekolah dasar, masih polos. Aku mendekati batok kelapa itu. Rasanya terlalu dalam. Aku hampir tenggelam. Kakiku sudah tidak menyentuh dasar, kepalaku pun sudah tidak di permukaan. Namun tanganku masih lebih tinggi dari kepalaku. Aku pun melambai ke salah satu temanku waktu itu. Tapi ombak seakan mendorongku kembali ke tepian. Aku selamat.”
Itu sudah lama sekali. Aku pun tidak trauma. Masih menyukai pantai dan tidak takut masuk air. Tapi bukan berarti aku termotivasi untuk belajar berenang. Sampai sekarang pun aku tidak menguasai hal itu. Dan sekali lagi, aku tidak takut. Seolah meremehkan. Aku berjalan di batang kayu yang membentang diantara bebatuan di tengah derasnya arus. Aku melihat temanku diseberang sana. Tanpa basa-basi. Aku kira sungai itu dangkal. Seperti waktu itu. Tapi ternyata tidak. Sifatku yang cenderung tidak sabaran membuatku terburu-buru. Kayu itu terlalu licin dan aku jatuh terjerembab. Refleks, tanganku meraih batang kayu itu. Kakiku tak menyentuh dasar, badanku nyaris terbawa arus, tanganku kian melemah. Entah berapa lama aku harus berpikir dan akhirnya aku melambaikan tanganku.

Tidak ada rasa takut. Perasaanku biasa-biasa saja seolah pasrah. Tapi pikiranku kembali ke tempatnya setelah ada salah satu tangan menarikku ke tepian. Walaupun agak kasar. Belum benar badanku ke tepian sudah dilepaskannya. Bahkan kesannya seperti menyeret binatang.

Tapi aku bersyukur. Sekali lagi, aku selamat. Dan akhirnya aku sadar, disanalah ketakutanku sebenarnya. Mati tenggelam. Rasanya setengah tidak percaya aku kembali berhasil melewatinya.
“Masih banyak yang harus aku lakukan di dunia ini. Tuhan masih memberiku kesempatan. Sekali lagi.”
Mungkin terlihat belebihan. Tapi semua orang pasti akan mengerti setelah merasakannya sendiri. Berada di antara hidup dan mati.

Banyak hal sebenarnya yang membuatku yakin akan hal itu. Di kehidupan sehari-hari. Sebagian besar aku hadapi ketika aku berkendara. Nyaris dan aku sering mengalaminya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar