Cari Artikel

Sabtu, 10 Maret 2018

Kenapa, Ayah?

Yang benar saja, aku, tengah malam, baru saja pulang demi mengejar target. ­­Ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda. Ayolah, Ayah, apakah kau tidak malu dengan keriputmu itu? Kenapa tidak bisa membaca situasi sedikitpun? Kemanakah wibawamu sebagai seorang Ayah? Oh iya, aku lupa, kau memang tak memilikinya. Ya aku tahu hasil yang aku berikan ini memang tak seberapa dibandingkan dengan apa yang telah kau berikan selama ini. Tapi kenapa? Kau tahu aku ini anakmu, seharusnya kau tahu sisi terang gelapku, ah... sialan! Aku bahkan tak pernah tahu apa sebenarnya isi kepalanya.

Entah, sosok Ayah yang aku idamkan tidak terdapat dalam dirimu. Kenapa kau itu seolah membuat kesan bahwa anak-anakmu itu cuma sekedar mesin penghasil uang? Pelunas hutang? Mereka juga butuh kasih sayang, perhatian dan penghargaan atas semua pencapaiannya. Bukan malah dibandingkan dengan anak-anak orang lain. Kau mungkin lupa bahwa anak itu adalah cerminan diri. Ah... Kenapa semua laki-laki di keluarga ini tidak ada yang bisa diandalkan? Aku kecewa.

Jujur saja aku menyesal bersikap seperti itu. Tapi bagaimana caranya membuatmu mengerti? Berbicara dengan benar pun kau bersikap acuh tak acuh. Kau seolah menganggap remeh semua hal. Ya memang anak-anakmu ini sudah di-set mandiri sejak dini. Tapi bukan berarti mereka senang melakukan sendiri. Kemanakah peranmu sebagai orang tua selama ini? Oh, mungkin karena kau menganggap bahwa seorang kepala keluarga itu tugasnya hanya untuk mencari nafkah, jadi wajar saja kau menuntut hal yang sama kepada anak-anakmu. Jika semua hal yang kau lakukan itu hanya untuk kesenanganmu sendiri, jadi jangan menyesal jika suatu saat mereka juga melakukan hal yang sama kepadamu.

"Jika kau butuh uangku, oke, ambil saja semua, jangan pernah pikirkan bagaimana keadaanku.
Apakah cukup makan, cukup tidur atau hanya sekedar bertanya kabar.
Entah gila, entah hilang tersesat atau bahkan tenggelam di samudera."

Maaf dan terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar