Cari Artikel

Minggu, 23 Januari 2022

Patung

Aku lelah dengan diriku sendiri. Seolah tak pernah belajar dari kesalahan. Lagi-lagi aku terjebak dalam hubungan yang tidak jelas ini. Kenapa begitu mudahnya aku terbuai? Tapi kenapa kamu berkali-kali melarangku untuk menyalahkan diriku sendiri? Dan kamu selalu berkata : "udah, gak usah mikir macem-macem, dibawa santai aja."

Dari awal aku sudah mencoba untuk membuat batasan. Berkali-kali mensugesti diri bahwa hubungan ini sama seperti yang sebelumnya. "Jangan terbawa perasaan!"

Tapi pertanyaannya, apakah perasaan itu hal yang dapat dikontrol? Ya, aku lepas kendali (lagi). Dan kamu pun tahu itu. Hasilnya? Apa yang aku harapkan? Semua sudah jelas terbaca di awal. Tapi aku (lagi-lagi) melupakan batasan yang aku buat sendiri.

Sekarang, entah apa yang sedang aku rasakan. Patah hati? Kecewa? Sedih? Tidak. Biasa saja. Air mataku seolah terkuras habis. Aku hanya termenung tanpa tahu perasaan macam apa yang aku rasakan ini.

Malam itu, dengan keadaan sama-sama mabuk, aku mencari celah untuk meluapkan isi kepalaku. Please, aku hanya ingin menangis, selayaknya orang patah hati, seperti biasanya.

"Eh, kamu umur segini kok belum nikah? Apa jangan-jangan kamu takut berkomitmen?"

"Belum mau, bukan tidak mau. Cuma gimana ya? Masih ribet aja."

"Kalo aku perhatiin nih ya, biasanya orang-orang seumuranmu yang belum nikah tu ya karena h*mo."

"Enak aja. Gak lah. Aku cuma gak mau bikin orang tuaku kecewa lagi."

"Kenapa emangnya?"

"Ya dulu sempet gagal nikah dua kali. Udah saling ngenalin orang tua loh. Udah mau beli cincin juga."

Deg... aku yang sempat mengalaminya juga jelas tahu bagaimana rasanya. Aku tidak pernah tahu keadaan orang ini sebenarnya. Dari luar terlihat santai. Bahkan saat menceritakan masalahnya di masa lalu pun dia masih bisa terlihat tenang. Tapi jika aku perhatikan, ada satu sisi yang berusaha keras dia sembunyikan. 

"Kamu tahu, seharusnya dari awal aku gak curhat sama kamu."

"....."

"Kamu tahu kan maksudku?"

"Ya paham. Tapi ya karena kamu itu mikirnya macem-macem. Jadi pikirannya kemana-mana."

"Jadi kamu mau kita itu FWB aja?"

"Apa itu?"

"Friends with Benefits."

"Loh, emangnya cuma aku aja yang dapet benefit-nya? Kamu gak?"

Aku terdiam. Karena memang benar yang dikatakannya. Tapi air mataku masih tertahan. Dan dia pun memulai pembicaraan kembali.

"Kan dari awal aku udah bilang, temen cewekku itu banyak. Selama gak merugikan kenapa gak? Yang penting kan sama-sama nyaman toh?"

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Tangisku mulai pecah.

"Apa aku nyakitin kamu?"

Kenapa dia menanyakan hal yang sudah jelas jawabannya seperti itu? Tangisku pun semakin menjadi. Dia hanya diam memperhatikan. Tidak ada kata-kata penenang. Seolah menungguku untuk bicara kembali. Saat tangisku mulai mereda, dia membelai rambutku, aku refleks mengelak.

"Udah tenang? Ada yang mau kamu omongin lagi?"

Perasaanku pun berhenti di situ.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar