Cari Artikel

Rabu, 04 Oktober 2017

Hipokrit

Halo! Apa kabar? Sehat?
Sudah memasuki akhir tahun niat menulis masih setengah-setengah saja. Hah!

Yah sebenarnya sih sudah mencoba "sok" menghasilkan dengan menulis di salah satu media ternama, tapi apa daya tulisan-tulisanku terlalu banyak hate speech content, yah maklum, otakku cuma berisi umpatan, wkwk.

Teman? Munafik? Oke aku bukan orang yang seratus persen baik, terkadang aku juga munafik. Tapi jika orang lain melakukan itu padamu yang bertujuan untuk meningkatkan citra dirinya dengan merendahkanmu? Apa mentalmu bisa sekuat itu?

Sebut saja "Anu", dia pernah mencaci tulisanku karena bahasanya terlalu tinggi. Maksudnya? Padahal aku hanya menggunakan istilah-istilah umum tentunya dengan bantuan KBBI. Yah, agar tidak sekedar "makek" doang tapi tidak tau artinya, wkwk. Atau mungkin otaknya saja yang terlalu malas berpikir, smart phone but stupid user, entah. Pertamanya sih aku kalem saja, tapi lama-lama kesal juga. Kebetulan dia juga mempunya niat (doang) untuk menulis sampai-sampai membuat blog pribadi juga. Karena penasaran aku pun membacanya dan pffttttt... Bukannya sok expert gitu ya, tapi terlihat seperti tulisan bocah SD yang baru belajar mengarang indah. Oke, soal teori mungkin dia jago, ngomong apa lagi, uh, berkuah! Tapi ya, ah, asu. Cuma ada satu tulisan dan terakhir aku cek ternyata memang sekedar niat saja. Padahal sudah sempat bertanya padaku tentang pembuatan website dan bla... blaaa... blehhh...

Oke kembali ke topik. Aku sebenarnya sangat senang berteman dengan siapa saja. Aku tidak mau berpikiran negatif sebelum aku mengenal orangnya langsung. Si Anu (sepintas) memang orang yang supel, pintar bergaul, ya aku akui. Aku tidak iri karena aku sudah cukup bersyukur dengan sifatku yang seperti ini, walaupun terkesan tidak baik.
Ada pengalaman pahit di balik sikap seseorang. Kesalahan membuat kita belajar, kan? Mau berbaik hati tapi menelan pahitnya lagi. Atau mengabaikannya dan disebut orang jahat? Tapi jika masih peduli dengan citra diri orang akan memilih pilihan pertama walaupun akhirnya memaki di dalam hati. Ya, karena orang kadang bersikap seenakknya, wkwk.
Berawal dari rasa kagum lalu entah ada angin apa dia datang dan mengajak berteman. Awalnya aku biasa saja dan menjalani dengan sewajarnya. Karena memang aku tidak mempunyai teman yang bisa diajak kemana-mana setiap saat sepertinya. Pertama dia mulai curhat tentang segalanya. Bercerita seolah-olah paling menderita sedunia dan berhasil menarik simpatiku. Mengajakku kemana-mana dan melibatkanku dalam semua kegiatannya masalahnya. Seolah-olah dia percaya padaku. Lalu aku mulai merasa risih ketika dia sering meminjam uang. Oke, aku awalnya memaklumi karena dia belum mendapatkan pekerjaan. Tapi lama kelamaan kok dianya keenakan? Dia tahu jelas kelemahanku, ya, aku terlalu peduli dan mudah bersimpati. 

Aku tidak keberatan jika ada orang yang berkata, "jika soal uang, orang akan kelihatan sifat aslinya". Tapi coba lihat posisiku, pekerjaan tidak tetap, uang tidak selalu ada. Lalu tiba-tiba ada orang yang datang, bergantung padaku. Kalau aku berpunya, apapun aku berikan, tapi apa? Aku makan saja jarang.

Pernah suatu ketika dia menghilang hampir setahun. Jujur saja aku kehilangan. Aku mencoba memaafkan. Karena waktu itu dia belum banyak bertingkah. Aku juga sudah memiliki beberapa teman sekarang. Tapi begitu dia kembali, tentu saja tiada angin tiada hujan, muncul kembali dengan rasa tak bersalahnya. Mengulangi apa yang diperbuatnya, bahkan lebih parah. Dia memang merasa mempunyai hutang denganku, tapi lagi-lagi hanya omong kosong belaka. Iya, memang dia pernah mengajakku nongkrong di tempat biasa dan mentraktirku, tapi ada pengecualian, dia begitu hanya saat bersama "cowok incarannya" saja. Sisanya? Aku yang membayar. Hampir setiap hari mendatangi kostku dan pasti ujung-ujungnya nongkrong di sana. Pintar. Caranya berhutang pun random sekali, hingga sampai tak terhitung jumlahnya. Lagi-lagi dia memanfaatkan kelemahanku, sungkan.

Yang paling membuatku sakit hati itu ketika dia mengajakku menonton gigs di seputaran Denpasar. Dia meminjam uang (terakhir) ku untuk membeli miras, kira-kira tiga sampai empat botol ukuran satu koma lima liter. Tapi sesampainya disana, begitu dia melihat ada sekumpulan "anak punk" duduk melingkar di dekat pintu masuk. Dia langsung memberikan semua mirasnya ke orang-orang random itu, berkenalan dengan mereka, lalu pergi begitu saja. 

"Are you serious?"

Dan di sepanjang acara aku hanya duduk terdiam menikmati gigs sedangkan dia asyik dengan teman-temannya. Akupun bertanya pada diri sendiri, "apakah aku yang tidak bisa bersosialisasi?"

Aku pun mulai berhati-hati dan memperhatikan setiap tingkahnya. Kebanyakan janji, omong kosong. Ayok kita kesini, ayok kita kesana, bla blaaa... Tapi begitu aku singgung sekali, meledak dan malah balik menyerang. Menyindir lewat sosial media dan karena aku panas aku pun membalasnya tapi dia malah berkata, "ah beraninya cuma nyindir di sosial media."

ANJING!

Dia pun sering membicarakan keburukan "bekas" sahabat-sahabatnya yang dulu. Aku pun langsung berpikir, "jangan-jangan aku juga akan dibicarakan seperti itu?"

Yap, benar! Intuisiku tidak pernah salah.

Selalu ingin didengarkan, selalu meminta solusi. Tapi ujung-ujungnya tidak dilakukan juga. Tapi begitu aku ada masalah, dia hanya menjawab:

"Ah, gak usah dipikiran."
"Kok kamu baperan? Biasain aja!"
"Galau terusss..."

Salahnya, aku kembali melibatkan dia ke dalam acara teman-temanku. Benar dugaanku, seperti mau tak mau dan cenderung banyak alasan. Dia menjelek-jelekkan teman-temanku, padahal dia belum begitu kenal mereka. Tapi di depan mereka dia malah bersikap seolah paling "wah", mencuri semua perhatian mereka, seolah tahu segala hal, membanggakan diri sendiri dan tidak lupa membicarakan kelemahanku di depan teman-temanku. Padahal aku tidak pernah seperti itu. KENAPA? Sebenarnya bisa saja aku membicarakan semua keburukannya ke semua orang. Tapi ahhh sudahlah. Buang waktu.

Oke, aku mencoba pasrah, tapi dia terus saja mencari perkara. Seolah dia menjadi korban. Broken home pun dijadikan alasannya yang paling ampuh. Mandiri? Serius? Rumah punya, tinggal pun sama orang tua, pinjam uang kemana-mana, bergantung sana-sini. Mandiri apanya? Kadang aku pun bertanya pada diriku, "apakah aku seburuk itu sampai memandang orang lain seperti itu?"

Tapi tidak ada yang mendengarkanku.
Terserahlah.
Aku tidak peduli lagi dengan penilaian orang.
Ah, anggap saja aku mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar